SEGITIGA RUMIT (2)
oleh: Diyah Rus
Langit sore yang cantik. Aku duduk bersebrangan kursi dengannya, melihat ke sebrang jendela, berbincang sesekali sambil menatap gagang cangkir kopi yang kugenggam. Perbincangan kami tidak pernah rutin setiap hari, karena kami hanya punya beberapa kesempatan untuk bertemu, saat dia
pulang. kami jarang sekali meluangkan waktu untuk sekedar
berbalasan pesan lewat medsos, video call setiap jam menit detik, panggilan
suara selama berjam-jam, rasanya kami lebih menyukai bertemu langsung.
Dia
pendengar yang baik, pencerita yang menarik, pemikir realistis , penasihat yang tenang, pemberi pendapat tanpa memihak. sudah lebih dari sepuluh menit dia menceritakkan hal lucu. Kemudian dia menyuruhku bercerita, membalasnya. Tapi aku lebih ingin meminta pendapat daripada bergurau. Ada hal yang selama ini menggangguku. Kalii ni, kuselipkan percakapan menganai agama.
Lewat kaca jendela kuintip raut
mukanya. Dia tampak berusaha keras menyembunyikan perubahan di matanya. Seperti
enggan menjawab, tapi merasa tidak enak hati. Dia terkekeh memegangi sisi kanan
lehernya, sambil mengubah posisi duduk. Tidak nyaman.
“Untuk kali ini coba kita cari topik
lain, carikan aku topik yang lucu.” Katanya masih memaksakan senyum ramah tapi
tidak diarahkan padaku. Aku menggeleng. “Bagaimana bisa kita membahas ini? Aku
dengan agamaku, kamu dengan agamamu. Kalau boleh juju raku takut suatu saat ini
menjadi alasan yang menyakitkan.. haha..” ucapnya sambil mengecek arloji
ditangan kirinya.
Awalnya aku hanya ingin mengalir,
jalani saja. Tapi bagaimanapun aku selalu merasa ada yang aneh jika aku yang
selalu berusaha menutupi rambutku dengan hijab, duduk disampingnya dengan seutas kalung bersimbol di balik bajunya. Aku
yang selalu berdoa dengan tangan menengadah, tapi dia duduk di depanku sambil
mengatupkan seluruh jarinya kemudian memegang pundak kanan-kiri dan kening
secara berurutan. Bagaimana orang ini jadi yang aku takutkan pergi dengan alasan yang paling menyakitkan. Dia yang baik, selalu menjaga perasaanku. mengingatkan ibadahku. Mendukungku dan agama yang kuanut. Dia yang tidak pernah sedikitpun mengeluarkan kata-kata kasar, bersikap menyakitkan. Dia lebih baik daripada yang sebelum-sebelumnya—yang seiman.
“Karena aku takut. Agama yang selama ini hidup
dengan kita bertahun-tahun bahkan mungkin seumur hidup, malah kita sakiti dengan
hal yang menurut kita saat ini benar, padahal kita tidak pernah tahu
kedepannya.” tanganku berkeringat.
. “Aku juga selalu disodori pertanyaan
yang sama. Kamu terlalu basa-basi.” Dia terkekeh “seharusnya tinggal bilang.
Bagaimana bisa sesuatu yang kita yakini selama puluhan tahun malah tergantikan
dengan hal-hal salah beberapa tahun belakangan. Aku pikir kita sedang diuji..”
terdiam sebentar. Lalu melanjutkan “ Kita ada diantara ego perasaan, Tuhan dan
logika.” Dia tertawa lagi seadanya. Cinta segitiga macam apa ini: aku, dia dan Tuhan.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment